Dia Sudah Lama Pergi, Dam.

Tepat pukul 12 siang, akhirnya kedua bayi Kayla lahir dengan selamat, lahir secara normal. Gua sama Yuta berjuang mati-matian buat selametin keduanya, karena Kayla sempet kejang. Alhamdulilah, tuhan beri kemudahan.

Fathan udah banjir keringet sekaligus air mata, dia sempet syok. Tapi Yuta terus semangatin dia, supaya dia bisa terus support Kayla. Tangan, seragam, serta masker gua sebagian terkena darah, ya ntah bagaimana itu semua bisa terjadi, gua terlalu fokus sama keselamatan mereka bertiga.

Oiya, tangan Fathan juga jadi korban, karena Kayla gigit tangan dia secara refleks waktu ngeden, hahaha ga apa-apa ya Fath? Sakitnya ga sebanding.

Gua agak sakit hati, waktu liat Fathan mengumandangkan adzan ditelinga kedua bayinya, serius deh kaya sakit gitulah pokoknya, tapi gua harus tau diri. Gua harus ilangin perasaan ini, lu pasti bisa Jani!

***

Yuta ngajak gua keluar, katanya supaya ga ganggu moment bahagia mereka berempat. Penampilan gua dan Yuta udah ga karuan banget, muka kucel, bau darah, pokoknya ga banget deh. And then taraaaaaaa, ketika gua keluar dari ruang bersalin, didepan ruangan itu ada sekitar enam orang yang sedang harap-harap cemas.

Ada Leon, istri Leon, Damian, Jericko, Aldin dan satu ibu-ibu. Maybe itu Mamanya Fathan. Ketika mereka lihat gua dan Yuta keluar dari ruangan itu, mereka langsung nyerbu kita dengan beberapa pertanyaan. Tolong sabar coy, cape nih.

“Dok gimana ya cucu dan menantu saya? Semuanya sehat kan?” “Sehat”

“Jan gimana? baik-baik aja kan? Gaada kendala apapun kan?” “Ga ada”

“Mba Jani, saya bisa minta kontaknya Arjuna?” Sialan nih brondong satu ini, macem-macem aja dah. Ibu-ibu tadi mukul tangan Damian, gua semakin yakin kalo mereka ini (Leon, Fathan, Damian) memang benar-benar kakak beradik.

Gua menghela napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan satu-persatu. Si Yuta cuma diem aja, dia udah cape banget soalnya. Padahal saya juga cape. Hah, ok kita jelasin satu-satu ya.

“Alhamdulilah, Kayla sama kedua bayinya selamat sehat sentosa, Kayla tidur karena dia kelelahan, bayinya dua-duanya sehat juga, tapi ada perbedaan ukuran diantara keduanya. Kakaknya punya berat badan yang lebih besar daripada adiknya”

“Kakaknya lahir dengan berat badan sekitar 3,2kg. Sementara adiknya cuma 2,6kg. Tapi panjangnya sama, jenis kelaminnya...”

“Cucu saya jenis kelaminnya apa dok? Cepet dok” Mamanya Fathan narik-narik tangan gua, bukannya mijitin malah rusuh doang.

“Sebentar Bu, saya haus mau minum” Gua masang muka cemburut tapi masih lucu. Mungkin hatinya merasa iba, ia langsung narik kresek yang dipegang Leon.

“Ini buat bu dokter aja ya? Kasian dia, nanti istrimu beli lagi”

“Maa, itu kan punya Alaa Ma” Leon ngomong sambil kebingungan, ga tau deh bingung karena apa.

Seketika itu juga, gua langsung minum tuh air mineral, habis setengahnya. Sisanya, gua kasih ke Yuta yang udah kehausan sejak tadi.

“Cucu ibu dua-duanya perempuan, cantik seperti Kayla, hidungnya mancung seperti Fathan” Gua senyum sedikit meringis, gua agak cape sama semuanya. Fisik sama pikiran gua semuanya cape.

“Oiya Dam, boleh Mba lihat buku itu? Buku yang Dam bilang” Gua mau mastiin aja, bener apa engga dia punya buku itu. Dan ternyata bener, dia keluarin buku yang udah lusuh itu dari tas selempangnya.

“Lihat Mba, ada tanda tangan Arjuna dan Mba”

Gua megang buku itu, setelah sekian lama hilang. Dulu, Juna ngambil buku ini tanpa sepengetahuan gua.

“Dam, kalau kamu dapetin buku ini secara cuma-cuma dari Juna, berarti kamu memang teman baik dia Dam”

“Mba, Damian mau ketemu Juna, sekarang bisa kan?”

Gua yang saat itu udah cape banget sama semuanya, ternyata ga bisa nahan tangis lagi. Gua bener-bener nangis didepan semua orang. Ditambah, raut wajah Damian yang semangat buat ketemu sama sahabat lamanya, padahal orang itu sudah lama sekali menyatu dengan tanah.

Pundak Damian yang terlihat kokoh, seketika melemas ketika ngeliat gua nangis, perlahan-lahan gua usap pundaknya, gua pegang pipi Damian, dan gua tatap mata dia yang mulai memerah.

Jericko, Aldin dan Yuta engga berkutik sama sekali, tetapi mereka ikutan nangis juga, hahaha. Yang menyedihkan, tangisan mereka engga mengeluarkan suara sama sekali.

Sementara Leon, Mamanya dan juga Syahla, cuma kebingungan. Ga paham dengan apa yang sedang terjadi dengan orang-orang dihadapan mereka.

“Dam, terima kasih ya? Terima kasih sudah mau menjadi teman Arjuna, pasti Juna sayang banget sama kamu, sampe-sampe catatan ambis kakaknya dia ambil cuma demi kamu, supaya kamu bisa lolos di PTN dan Fakultas yang kamu mau, hahaha Mba terharu” air mata gua ga bisa berenti, sampe akhirnya Damian buka suara.

“Mba kenapa nangis? Ketiga dokter itu juga nangis? Ada apa sih?” Damian semakin bingung dengan semua yang terjadi.

“Dam, Arjuna sudah lama pergi Dam. Dia ga akan pernah kembali” Setelah ngomong itu, air mata gua bener-bener keluar tanpa henti, Damian juga ikut mengeluarkan air mata hahaha.

“Mba apa sih? Dam ga paham, Juna si bocah tengil itu pergi kemana?”

Suara Damian parau, ia mulai mencerna semuanya, satu-persatu.

“Arjuna, korban tabrak lari beberapa tahun yang lalu. Dia ga selamat Dam, dia sudah menyerah” Gua lihat Jericko yang berusaha keras untuk ga nangis, tapi tetep aja air mata pria itu turun dengan deras.

Damian jatuh ke lantai, lututnya sudah tidak bisa lagi menahan badannya, emosi serta rasa rindu bercampur menjadi satu, setelah ia mengetahui bahwa rasa rindunya itu tak akan pernah menemukan tempat untuk berlabuh.

“Juna, Juna yang malang, kenapa sih Jun? Kenapa ini semua begitu sulit untuk gua terima” Damian menangis sejadi-jadinya.

“Dam bangun! kamu ini kenapa Dam?”

“Jan, Arjuna siapa?” Leon mengerutkan dahinya, wajahnya terlihat tegang, matanya sedikit berkaca-kaca.

“Arjuna Gandhi, adik lelaki gua yang paling berharga, he was died Le”

Leon juga tampak kaget, ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia tampak frustasi, tapi gua lebih memilih untuk pergi.

Gua malu kalo harus nangis selama itu didepan mereka, gua ga mau kelihatan lemah.