Surat Panggilan, Dari Pengadilan.
Satu minggu yang lalu, ada surat yang dikirim ke Apartment gua, ternyata itu adalah surat panggilan dari pengadilan. Ya benar, Damian engga main-main dengan ucapannya, engga apa-apa kok, memang sudah seharusnya. Dan hari ini gua harus memenuhi panggilan itu, sebagai terdakwa pelaku tabrak lari. Kasusnya bisa diangkat lagi ke meja hijau kok, sebab, belum kedaluarsa. Akhirnya hal yang gua takutkan selama ini bisa jadi kenyataan, hah.
Kalau dipikir-pikir, kenapa dulu gua dan keluarga harus lari dari kasus ini sih? Padahal denda dan hukuman penjaranya engga begitu merugikan, karena kehilangan yang dirasakan Anjani lebih dalam dari dalamnya lautan. Mimpinya Arjuna, cita-citanya Winarta lebih berharga dari segalanya, harus pupus gara-gara kelalaian yang gua buat. Eh, emangnya kelalaian gua?
**
Ruang pengadilan hari dingin banget, serius, engga sedingin tujuh tahun yang lalu. Kali ini persidangannya terbuka, dihadiri banyak orang. Gua degdegan, karena kemungkinan aja gua bisa kena pasal berlapis, yaitu kasus rhakim. Bangsat, hidup gua berantakan banget. Syahla bajingan, ninggalin gua sama Kai, gua harap hidup lo sengsara, lebih dari gua, Laa.
“Saudara Leon Januar, anda adalah terdakwa yang dituduh sebagai pelaku tabrak lari yang mengakibatkan kedua korban bernama Arjuna Gandhi serta Gabriel Winarta meninggal dunia sesaat setelah mereka terseret sejauh seratus lima puluh meter dari tempat perkara pada tanggal 4 Agustus tahun 2014.”
“Ya atau Tidak?”
“Tidak”
“Saksi yang telah bersumpah, Zachary Damian, bisa tolong jelaskan?”
Damian duduk dibangku saksi, udah gua duga.
“Lima bulan yang lalu, saudara Leon Januar mengatakan kebenaran dengan kondisi sadar, dan tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan atau barang memabukkan lainnya. Ia mengatakan bahwa ialah pelaku tabrak lari itu, ia yang menyebabkan kedua korban meninggal dunia ditempat.”
Dam, kamu bener-bener engga percaya sama Abang ya? Hahaha, Abang aja engga percaya sama diri sendiri Dam.
“Silahkan terdakwa, berikan keterangan secara transparan kepada penyidik dan hakim”
Kali ini gua harus jujur ya? Iya, gua akan berusaha jujur, sesuai dengan ingatan gua saat itu. Gua engga akan pikirin reputasi keluarga gua, engga akan pikirin dampak terhadap perusahaan suami Mama gua, dan gua juga engga akan pikirin hubungan gua sama Mama. Maaf ya Ma, kali ini Leon bener-bener harus bahagia, demi Jani, demi Kai, anak Leon satu-satunya.
“Malam itu... saya sama sekali tidak mabuk, hanya terlalu meracau dipinggir jalan. Teman-teman saya terlalu khawatir, karena sudah dua minggu lamanya setelah wisuda, saya tidak pulang kerumah. Luky Baskara, mengangkat telepon yang saat itu masuk ke ponsel saya.”
“Luky menyalakan loud-speaker dan yang terdengar adalah suara adik saya, Zachary Fathan. Dia berteriak dari jauh, dan meminta saya untuk segera pulang, malam itu juga.”
Gua ngelirik Fathan dari jauh, dia cuma nunduk sambil mengurut pelan kepalanya. Mama, Papa juga ada di sana, dibangku bersama orang-orang yang menyaksikan persidangan ini.
“Baik, saat itu, apa yang saudara Zachary Fathan bicarakan? Serta jawaban apa yang anda dan saudara Luky katakan?”
Jujur gua lupa, tapi gua bisa mengingat setengahnya.
“Bang, pulang, lo dicariin Mama, pulang lah Bang, gua jadi kesusahan nih tiap hari disuruh nyariin lo mulu. Itu yang diucapkan Zachary Fathan, lalu Luky dan saya menjawab serempak. Jemput dong di daerah angkringan ITB, Luky mabok engga bisa bawa mobil. Padahal sudah jelas saya dan Luky tidak dalam pengaruh minum-minuman beralkohol, saya berani bersumpah.”
“Saudara Luky, harus dilibatkan didalam kasus ini, sebagai saksi”
Ya lo pada carilah sana si Luky, sejak saat itu dia ga tau ada dimana deh, mati kali.
“Saya sudah tidak berhubungan dengan dia, sejak saat itu.”
Semua orang dipersidangan saling berbisik, bertanya-tanya dengan penasaran, siapakah Luky-siapakah Luky.
Luky, teman gua yang paling setia, jujur gua kangen banget sama dia. Setelah hari itu, dia menutup semua akun sosial medianya, ntah mengapa.
“Lanjutkan keterangannya, dengan lebih rinci”
Gua bener-bener harus ngungkap kasus ini.
“Zachary Fathan, menjemput saya dan Luky tidak lama setelah kami berbincang lewat telepon. Dia mengendarai mobil Honda Civic keluaran terbaru ditahun 2014, milik saya, itu adalah hadiah wisuda dari Mama saya. Dia, Zachary Fathan, selalu mengumpat kepada saya sejak pertama kali dia datang. Dia mengumpat karena kesal kepada saya, katanya dia jadi punya beban karena Mama saya selalu menyuruh dia untuk mencari saya.”
“Lalu, saya duduk disamping kursi kemudi, karena saya tidak menyetir mobil pada malam itu. Sementara Luky, ia berpura-pura mabuk dan merebahkan badannya dikursi belakang, dan, Zachary Fathan lah yang mengemudi mobil malam itu.”
Ya, itu adalah kebenarannya. Itu semua adalah kejadian yang sebenarnya.
“Saya pusing dan merasa ingin muntah karena terus mendengar ocehan-ocehan sampah dari seorang Zachary Fathan. Mental saya tidak baik-baik saja saat itu, emosi saya juga tidak stabil. Ucapan-ucapan Fathan tentang kehidupan saya, tentang betapa tidak layaknya saya menjadi calon pemimpin perusahaan Papanya. Saya terpaksa memukul wajah dia sekaligus.” Gua menunjuk Fathan saat itu juga, semua orang dipersidangan langsung melirik ke arah Fathan, begitupun Jani.”
“Dia berhenti mengumpat, tetapi dia mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi, dia terus melirik saya diarah samping, wajahnya memerah, ia terlihat sangat emosi. Saya sudah menegurnya untuk menghentikan mobil yang ia kendarai, tetapi speedometer-nya menunjukan angka 90 kilometer per jam. Bisa kalian bayangkan kecepatan tersebut? 90 kilometer per jam dikawasan pemukiman warga, yang mana jalan tersebut adalah rute yang sering dilalui banyak pengendara.”
“Apakah benar, itu adalah rute menuju perumahan milik keluarga anda?”
“Iya benar. Tiba-tiba saja, Zachary Fathan kembali mengumpat, ia menyebutkan kata-kata kasar, menyumpah serapahi saya, sambil terus mengemudi mobil tersebut. Sebelum memasuki perumahan, kami melewati perempatan yang gelap, tak ada penerangan. Penerangan itu hanya berasal dari mobil yang kami kemudikan.”
Suasana persidangan semakin memanas, gua melirik Jani, tatapan dia menunjukkan seolah-olah bahwa dia merasa prihatin terhadap gua. Gua cuma bisa senyum kearah Jani, mengartikan bahwa semuanya akan segera baik-baik saja.
“Lalu, tepat didepan kami, ada motor yang melaju dengan kecepatan dibawah rata-rata, berasal dari arah samping. Tetapi nahas, Zachary Fathan menabrak motor tersebut, hingga terseret beberapa meter. Dia berhenti sesaat untuk melihat dari kaca spion, menarik napas dalam-dalam, lalu tangannya bergetar hebat. Saya bereaksi, ingin keluar dari mobil itu dan menelepon ambulance, namun Fathan melarang saya untuk keluar. Ia buru-buru melajukan kembali mobil yang sudah mengeluarkan asap itu.”
“Sa